Kalo nggak percaya, coba tanya kakak kelas kamu yang udah lulus dan bekerja, apa ketika mereka interviu kerja ditanyakan skripsinya apa? Jawabannya pasti nggak, karena gue juga yakin, pewawancaranya pasti nggak mau ngungkit-ngungkit dirinya sendiri pas dulu ngerjain skripsi. HINA!
Skripsi bagi institusi tentunya bermanfaat selain untuk ngisi pajangan di rak-rak buku, juga untuk menambah kekhasanahan dunia ilmiah. Tapi dari sisi mahasiswa, skripsi itu lebih banyak sia-sianya gue rasa, dan kayaknya yang membaca ini 90% setuju, bagi yang nggak setuju, coba cek diri kamu sendiri, jangan-jangan kamu zombie.
Walaupun memang, secara bawah sadar bagi orang yang membuat skripsi, mereka akan lebih pintar berpikir analitik. Seenggaknya salah satu sisi positifnya itu, yang lainnya salah semua.
tetapi disisi lain, ada yang sepakat, ada juga yang nggak sepakat ketika skripsi bakal nggak diwajibin bagi yang mau jadi sarjana. Kalo mahasiswa pada sepakat, itu udah lumrah. Cuma gue rada curiga sama mahasiswa atau orang yang nggak sepakat dengan usulan skripsi yang bakal diganti ini. Mungkin kalo skripsi udah nggak diwajibin, mereka bakal kehilangan bisnis perdukunan skripsi-nya.
Tapi gue nggak mau suudzon, siapa tau mereka emang pengin mempertahankan sistem skripsi sebagai syarat lulus, karena orang yang nggak bisa bikin skripsi, nggak bisa dibilang 'gentle', katanya. Bener memang, pressure makes you stronger.
---
Gimana donk solusi terbaiknya?
Kebayang kalo gue jadi rektor, gue akan lebih santai meluluskan mahasiswa-mahasiswanya, "Kalo lulus ya lulus aja, kenapa harus gue yang repot?!", kemudian lompat dari rektorat.
Seandainya kejadian mahasiswa yang mau lulus dikasih pilihan skripsi, penelitian, atau pengabdian masyarakat; gue rasa jatohnya akan jadi sama aja, yaitu mahasiswa yang lulusnya karena terpaksa.
Selama selalu ada patokan untuk lulus, akan ada aja cara mahasiswa untuk ngakalin jalan pintasnya, mahasiswa kan jenius. Dan ada alasan kenapa mahasiswa bisa berperilaku seperti ini, yaitu karena desakan.
Logikanya, mahasiswa kuliah sendiri, biaya sendiri, ngurus lulus sendiri, setelah lulus nyari kerja sendiri. Apa nggak gila?! Belum lagi ketika mereka harus dihadapi dengan kenyataan hidup: 12 tahun sekolah, 4 tahun kuliah, kemudian kerja seumur hidup.
Nah, harus ada solusi win-win antara mahasiswa dengan kampus sebagai pintu terakhir untuk bisa berkarier dalam hidup, salah satunya adalah mahasiswa dikasih kebebasan untuk milih jalan kelulusannya sendiri: sesuai dengan minatnya apa, passionnya apa, dan potensinya apa.
Karena nggak semua mahasiswa seneng penelitian atau pengabdian, ada aja mahasiswa yang suka bisnis, arahin lah mahasiswa itu untuk bikin bisnis plan dengan modal kecil. Ada juga mahasiswa yang suka jurnalis, bisa diarahin ke dunia jurnalistik. Ada juga mahasiswa yang seneng main game, bikinin mereka kompetisi game: yang menang lulus - yang kalah ngulang. Ini baru kompetisi sehat!
Hmm, jadi kepikiran. Kenapa dulu sekolah siswa-siswi masuknya bareng dan lulusnya bareng, sedangkan kuliah mahasiswa masuknya bareng tapi lulusnya sendiri-sendiri? Ini kan hal simple tapi ajaib. Satu alasannya, karena guru sekolah itu lebih perhatian sama murid-muridnya, lah kalo kuliah, jangankan perhatian, dosen yang inget nama mahasiswanya aja udah terancam punah.
Jangankan wacana skripsi yang dijadi pilihan, sebenernya -imho, sistem yang dipake saat ini pun masih bisa efektif, asalkan peran dosen sebagai 'pengganti orang tua di kampus' bisa dimaksimalin. Dimana mereka mampu memprioritaskan mahasiswa bimbingannya di atas semua kesibukan dan project-project mereka: mahasiswanya dibimbing dengan sabar dan asik, ramah dan baik, untung-untung SPP mahasiswanya dibayarin, dibayarin juga uang bulanannya, atau dijodohin sama anaknya yang cakep.
Gue rasa, apapun syarat kelulusan seorang sarjana, seandainya dosen bisa lebih perhatian, semuanya akan baik-baik aja. Ya gak?
Itu pendapat gue, gimana pendapat kamu? :)